Beranda | Artikel
Keutamaan Mengajarkan Ilmu
Rabu, 24 Februari 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Keutamaan Mengajarkan Ilmu merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah كتاب صحيح الترغيب والترهيب (kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib) yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Rabu, 12 Rajab 1442 H / 24 Februari 2021 M.

Download kajian sebelumnya: Perumpamaan Hati Manusia Bagaikan Tanah

Kajian Hadits Tentang Keutamaan Mengajarkan Ilmu

Kita masuk hadits yang ke-80. Dari Sahl bin Mu’adz bin Anas, dari ayahnya (yaitu Muadz bin Anas), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من علم علما فله أجر من عمل به لا ينقص من أجر العامل شيء

“Siapa yang mengajarkan ilmu, maka ia mendapatkan pahala orang yang mengamalkan, tidak berkurang dari pahala orang yang beramal itu sedikit pun juga.” (HR. Ibnu Majah, hadits ini kata Syaikh Albani hasan lighairihi)

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan bisa diamalkan dalam kehidupan, tentu yang paling utama adalah ilmu agama, ilmu yang berasal dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ilmu yang menimbulkan rasa takut kepada Allah, ketawadhuan, menimbulkan rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka siapa yang mengajarkan ilmu kepada orang lain lalu diamalkan oleh orang tersebut, kita mendapatkan pahala dari dia. Namun tentunya juga kita jangan sampai tertipu hanya karena kita sudah mengajarkan ilmu lalu kemudian kita sendiri lupa untuk mengamalkan ilmu yang kita ajarkan tersebut. Sebab kalau kita lakukan seperti itu, maka kita bagaikan lilin yang menerangi manusia tapi dirinya sendiri terbakar. Na’udzubillah..

Ini menunjukkan betapa agungnya pahala mengajarkan ilmu kepada manusia. Sebab ketika kita sebarkan ilmu, manusia pun bisa beramal dengannya. Dan ilmu memang harus disebarkan, tidak boleh ditutup-tutupi, tidak boleh disembunyikan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang menyembunyikan ilmu. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang Kami telah turunkan berupa keterangan dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada manusia, maka mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua yang bisa melaknat.” (QS. Al-Baqarah[2]: 159)

Maka ilmu yang sudah kita ketahui/pelajari, tentang ayat-ayat Allah yang sudah kita benar-benar pelajari tafsirnya dari para ulama, hadits yang sudah betul-betul kita pelajari apakah hadits itu shahih dan bagaimana penafsiran para ulama tentang hadits tersebut, maka pada waktu itu kewajiban kita yang selanjutnya adalah menyampaikan sebatas hadits yang kita pahami tersebut.

Tentunya yang sudah kita sampaikan adalah yang sudah betul-betul kita dalami, bukan seperti yang dilakukan oleh sebagian orang di zaman sekarang. Pada zaman sekarang sebatas comot ayat padahal dia belum pernah mempelajari ayat tersebut, kemudian ia tafsirkan dengan akal dan pemikiran sendiri. Ini jelas penyesatan dan bukan ilmu sama sekali.

Makanya Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

فأما تفسير القرآن بمجرد الرأي فحرام

“adapun menafsirkan Al-Qur’an sebatas dengan akal saja, maka itu hukumnya haram.”

Atau ada orang membahwa hadits kemudian dipahami sendiri tidak merujuk bagaimana pemahaman para sahabat, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan demikian pula para ulama setelahnya. Ini juga bahaya. Sebagaimana orang-orang khawarij yang memahami hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pemikirannya sendiri lalu kemudian dipahami dengan pemahaman yang salah, sehingga menimbulkan aqidah yang menyesatkan.

Maka hati-hati, saudaraku. Dalam masalah mengajarkan ilmu memang harus betul-betul ilmu yang kita ajarkan, bukan kebodohan, bukan akal/pendapat kita. Karena hakikat ilmu itu kata Imam Syafi’i Rahimahullah:

العِلمُ ما كانَ فيهِ قالَ حَدَّثَنا

“Ilmu itu hakikatnya adalah yang ada padanya haddatsana.

Haddatsana dalam ilmu hadits itu bahwa sanadnya bersambung sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Lalu kata beliau:

وَما سِوى ذاكَ وَسواسُ الشَياطينِ

“Selain itu hanyalah was-was setan”

Artinya semua ilmu yang tidak bersambung sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hakikatnya itu bukan ilmu, tapi itu hanya was-was setan belaka.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49859-keutamaan-mengajarkan-ilmu/